EMI RUSDIANI

Kamis, 26 Desember 2013

MAKALAH MENGOLAH SKOR MENTAH HURUF DAN ANGKA 1 -10




BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar belakang
Apa yang terjadi selama ini, banyak diantara para guru masih mencampuradukkan antara pengertian skor dan nilai. Skor adalah hasil pekerjaan menskor yang diperoleh dengan menjumlahkan angka – angka bagi setiap soal tes yang dijawab oleh siswa.sedangkan nilai adalah angka ubahan dari skor dengan menggunakan acuan tertentu, yakni acuan normal atau acuan standar.
Pada hakikatnya pemberian skor (scoring) adalah proses pengubahan jawaban instrumen menjadi angka-angka yang merupakan nilai kuantitatif dari suatu jawaban terhadap item dalam instrumen. Angka-angka hasil penilaian selanjutnya diproses menjadi nilai-nilai (grade).
           
2.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana mengolah skor mentah menjadi nilai huruf ?
2.      Bagaimana mengolah skor mentah menjadi nilai 1-10 ?

3.      Tujuan Masalah
1.      Untuk memahami cara mengolah skor mentah menjadi nilai huruf
2.      Untuk memahami cara mengolah skor mentah menjadi nilai 1 - 10













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Skor
                 Skor adalah hasil pekerjaan menyekor (memberikan angka) yang diperoleh dari penjumlahan angka-angka dalam setiap butir soal yang di jawab dengan benar oleh testee, dan memperhitungkan bobot jawaban.
                 Pengubahan skor menjadi nilai dapat dilakukan untuk skor tunggal, misalnya sesudah memperoleh skor ulangan harian atau untuk skor gabungan dari beberapa ulangan dalam rangka memperoleh nilai akhir untuk rapor. Secara rinci skor dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu skor yang diperoleh (obtained score), skor sebenarnya (true score), dan skor kesalahan (error score) yaitu sebagai berikut :
a)      Skor yang diperoleh adalah sejumlah biji yang dimiliki oleh testee sebagai hasil mengerjakan tes. Kelemahan-kelemahan butir tes, situasi yang tidak mendukung, kecemasan, dan lain-lain faktor yang dapat berakibat terhadap skor yang diperoleh ini. Apabila faktor-faktor yang berpengaruh ini muncul, baik sebagian ataupun menyeluruh, penilai tidak dapat mengira-ngira seberapa cermat skor yang diperoleh siswa ini mampu mencerminkan pengetahuan dan keterampilan siswa yang sesungguhnya.
b)      Skor sebenarnya (true score) sering kali juga disebut dengan istilah skor univers –skor alam (universe score), adalah nilai hipotesis yang sangat tergantung dari perbedaan individu berkenaan dengan pengetahuan yang dimiliki secara tetap.
Perbedaan antara skor yang diperoleh dengan skor sebenarnya, disebut dengan istilah kesalahan dalam pengukuran atau kesalahan skor, atau dibalik skor kesalahan.
Hubungan antara ketiga macam skor tersebut adalah sebagai berikut:
Skor yang diperoleh = skor sebenarnya + skor kesalahan,


Adapun yang dimaksud dengan nilai adalah angka (bisa juga huruf), yang merupakan hasil ubahan dari skor yang sudah dijadikan satu dengan skor-skor lainnya, serta disesuaikan pengaturannya dengan standar tertentu.
Nilai, pada dasarnya adalah angka atau huruf yang melambangkan seberapa jauh atau seberapa besar kemampuan yang telah ditunjukkan oleh testee terhadap materi atau bahan yang diteskan, sesuai dengan tujuan instruksional khusus yang telah ditentukan. Nilai, pada dasarnya juga melambangkan penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee atas jawaban betul yang diberikan oleh testee dalam tes hasil belajar. Artinya, makin banyak jumlah butir soal yang dapat dijawab dengan betul, maka penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee akan semakin tinggi. Sebaliknya, jika jumlah butir item yang dapat dijawab dengan betul hanya sedikit, maka penghargaan yang diberikan tester kepada testee juga kecil atau rendah.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa untuk sampai kepada nilai, maka skor-skor hasil tes yang pada hakikatnya masih merupakan skor-skor mentah itu  perlu diolah lebih dahulu sehingga dapat diubah menjadi skor yang sifatnya baku.
Pengolahan dan pengubahan skor mentah hasil tes
Ada dua hal penting yang perlu dipahami terlebih dahulu dalam pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai, yaitu:
1.    Bahwa dalam pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu ada dua cara yang dapat ditempuh, yaitu:
a.       Bahwa pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu dilakukan dengan mengacu atau mendasarkan diri pada kriterium (patokan). Cara pertama ini sering dikenal dengan istilah criterion referenced evaluation, yang dalam dunia pendidikan di tanah air kita sering dikenal dengan istilah penilaian ber-acuan patokan.
Pertama-tama harus dipahami bahwa penilaian ber-acuan kriterium ini mendasarkan diri pada asumsi, bahwa:
1)      Hal-hal yang harus dipelajari oleh testee adalah mempunyai struktur hierarkis tertentu, dan bahwa masing-masing taraf harus dikuasai secara baik sebelum testee tadi maju atau sampai pada taraf selanjutnya.
2)      Evaluator atau tester dapat mengidentifikasi masing-masing taraf itu sampai tuntas, atau setidak-tidaknya mendekati tuntas, sehingga dapat disusun alat pengukurnya.
Apabila dalam penentuan nilai hasil tes hasil belajar itu digunakan acuan kriterium, maka hal ini mengandung arti bahwa nilai yang akan diberikan kepada testee itu harus didasarkan pada standar mutlak artinya, pemberian nilai kepada testee itu dilaksanakan dengan jalan membandingkan antara skor mentah hasil tes yang dimiliki oleh masing-masing individu testee, dengan skor maksimum ideal yang mungkin dapat dicapai oleh testee, kalau saja seluruh soal tes dapat dijawab dengan betul.
Karena itu maka pada penentuan nilai yang mengacu kepada kriterium atau patokan ini, tinggi rendahnya atau besar kecilnya nilai yang diberikan kepada masing-masing individu testee, mutlak ditentukan oleh besar kecil atau tinggi rendahnya skor yang dapat dicapai oleh masing-masing testee yang bersangkutan. Itulah sebabnya mengapa penentuan nilai dengan mengacu pada kriterium sering disebut sebagai: penentuan nilai secara mutlak (absolut), atau penentuan nilai secara individual.
Disamping itu, karena penentuan nilai seorang testee dilakukan dengan jalan membandingkan skor mentah hasil tes dengan skor maksimum idealnya, maka penentuan nilai yang beracuan pada keriterium ini juga sering dikenal dengan istilah penentuan nilai secara ideal, atau penentuan nilai secara teoritik, atau penentuan nilai secara das sollen. Dengan istilah teoritik dimaksudkan di sini, bahwa: secara teoritik seorang siswa berhak atas nilai 100-misalnya-apabila keseluruhan butir soal tes dapat dijawab dengan betul oleh siswa tersebut. Dengan demikian maka dalam penentuan nilai yang beracuan pada kriterium, sebelum tes hasil belajar dilaksanakan, patokan itu sudah dapat disusun (tanpa menunggu selesainya pelaksanaan tes).
Selanjutnya patut diperhatikan, bahwa nilai yang berwujud angka, yang penentuannya didasarkan pada standar mutlak itu sebenarnya adalah merupakan angka persentase (%) mengenai tingkat kedalaman atau tingkat penguasaan testee terhadap materi tes yang dihadapkan kepada mereka. Dalam pernyataan tersebut terkandung makna, bahwa nilai yang penentuannya didasarkan pada standar mutlak itu menunjukkan berapa persen dari 100% tujuan instruksional khusus yang telah ditentukan, telah dapat dicapai atau dipahami oleh testee. Jadi, jika seorang siswa memperoleh nilai 50 maka hal itu merupakan petunjuk bahwa siswa tersebut hanya mampu memahami sebanyak 50% dari tujuan instruksional khusus yang telah ditentukan.
Karena nilai hasil tes yang ditentukan dengan menggunakan standar mutlak atau mengacu pada kriterium itu sebenarnya merupakan angka-angka presentase, maka tester akan segera dapat mengetahui, siswa manakah yang tingkat penguasaannya tergolong tinggi, sedng atau rendah.
Penilaian beracuan patokan ini sangat cocok diterapkan pada tes-tes formatif, dimana tester ingin mengetahui sudah sampai sejauh manakah peserta didiknya “telah terbentuk”, setelah mereka mengikuti program pengajaran dalam jangka waktu tertentu. Dengan menggunakan criterion referenced evaluation di mana guru atau dosen dapat mengetahui berapa orang siswa atau mahasiswa yang tingkat penguasaannya tinggi, cukup dan rendah, maka guru atau dosen tersebut akan dapat melakukan upaya-upaya atau ikhtiar yang dipandang perlu agar tujuan pengajaran dapat tercapai secara optimal.
b.      Bahwa pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu dilakukan  dengan mengacu atau mendasarkan diri pada norma atau kelompok. Cara kedua ini sering dikenal dengan istilah norm referenced avaluation, yang dalam dunia pendidikan di tanah air kita sering dikenal dengan istilah penilaian ber-acuan norma.
Penilaian beracuan kelompok ini mendasarkan diri pada asumsi sebagai berikut:
1)      Bahwa pada setiap populasi peserta didik yang sifatnya heterogen , akan selalu didapati kelompok “baik”, kelompok “sedang”, dan kelompok “kurang”.
2)      Bahwa tujuan evaluasi hasil belajar adalah untuk menentukan posisi relatif dari para peserta tes dalam hal yang sedang dievaluasi itu, yaitu apakah seorang peserta tes posisi relatifnya berada di “atas”, di “tengah” ataukah di “bawah”.
Penilaian beracuan norma atau penilaian beracuan kelompok ini sering dikenal dengan istilah penentuan nilai secara relatif, atau penilaian dengan mendasarkan diri pada standar relatif.
Dengan menggunakan standar relatif maka akan dapat terjadi, bahwa testee yang sebenarnya pada kelompok I tergolong “hebat” (karena berhasil meraih skor hasil tes yang tinggi sehingga ia tergolong dalam kategori testee yang “amat pandai”), jika dimasukkan ke dalam kelompok II ternyata hanya termasuk dalam kelompok “sedang” atau “cukupan” atau “biasa-biasa saja” kualitasnya, jadi kedudukan testee dimaksud di atas sebenarnya adalah bersifat relative.
2.    Bahwa pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu dapat menggunakan berbagai macam skala.
1)      Pengubahan skor mentah hasil tes menjadi nilai standar berskala lima (stanfive)
Pengubahan skor mentah hasil tes menjadi nilai standar berskala lima atau nilai huruf, menggunakan patokan sebagai berikut:
———————–>                                        A
Mean + 1,5 SD
———————–>                                        B
Mean + 0,5 SD
———————–>                                        C
Mean – 0,5 SD
———————–>                                        D
Mean – 1,5 SD
———————–>                                        E
2)      Mengubah skor mentah hasil tes menjadi nilai standar berskala sembilan (stannine)
Jika skor-skor mentah hasil tes itu akan diubah menjadi nilai standar berskala sembilan, maka patokan yang dipergunakan adalah sebagai berikut:
———————–>                                        9
M + 1,75 SD
———————–>                                        8
M + 1,25 SD
———————–>                                        7
M + 0,75 SD
———————–>                                        6
M + 0,25 SD
———————–>                                        5
M – 0,25 SD
———————–>                                        4
M – 0,75 SD
———————–>                                        3
M – 1,25 SD
———————–>                                        2
M – 1,75 SD      
———————–>                                        1
Nilai standar berskala sembilan adalah nilai standar yang meniadakan nilai 0 dan nilai 10. Nilai standar tersebut tidak lazim digunakan di Indonesia.
3)      Pengubahan skor mentah hasil tes menjadi nilai standar berskala sebelas (standar eleven)
Nilai standar berskala sebelas adalah rentangan nilai standar mulai dari 0 sampai dengan 10. Jadi di sini akan kita dapati 11 butir nilai standar, yaitu nilao 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9,10.
Di Indonesia, nilai standar berskala sebelas ini umumnya digunakan pada lembaga pendidikan tingkat dasar dan tingkat menengah. Pengubahan skor mentah menjadi stanel itu menggunakan patokan sebagai berikut:
———————–>                                        10
M + 2,25 SD
———————–>                                        9
M + 1,75 SD
———————–>                                        8
M + 1,25 SD
———————–>                                        7
M + 0,75 SD
———————–>                                        6
M + 0,25 SD
———————–>                                        5
M – 0,25 SD
———————–>                                        4
M – 0,75 SD
———————–>                                        3
M – 1,25 SD
———————–>                                        2
M – 1,75 SD
———————–>                                        1
M – 2,25 SD
                                                0


B.     Beberapa Skala Penilaian
a.      Skala bebas
Ani, seorang pelajar di suatu SMU, pada suatu hari berlari – lari kegirangan setelah menerima kembali kertas ulangan dari Guru Matematika. Pada sudut kertas itu tertulis angka 10, yaitu angkayang diperoleh Ani dengan ulangan itu. Setekah tiba diluar kelas, Ani berdiskusi dengan kawan – kawannya. Ternyata cara mengerjakan dan pendapatnya tidak sama dengan yang lain. Tetapi mereka juga tidak yakin mana yang betul. Oleh karena itu, ketika kertas ulangan dikembalikan dan ia mendapat 10, ia kegirangan. Baru sampai bertemu dengan 4 kawannya, wajahnya sudah menjadi malu tersipu – sipu.  Rupanya ia menyadari kebodohannya karena setelah melihat angka yang diperoleh keempat orang kawannya, ternyata kepunyaan Anil ah yang paling sedikit. Ada kawannya yang mendapat 15, 20 bahkan ada yang 25.Dan kata Guru, pekerjaan Tika yang mendapat angka 25 itulah yang betul.
Dari gambaran ini tampak bahwa dalam pikiran Ani, terpancang satu pengertian bahwa angka 10 adalah angka tertinggi yang mungkin dicapai, ini memang lazim. Cara pemberian angka seperti ini tidak salah. Hanya sayangnya, guru tersebut barangkali perlu menerangkan kepada para siswanya, cara mana yang digunakan untuk memberikan angka atau skor. Ia baru pindah dari sekolah lain. Ia sudah terbiasa menggunakan skala bebas, yaitu skala yang tidak tetap. Adakalanya skor tertinggi 20, lain kali lagi 50. Ini semua tergantung dari banyak dan bentuk soal. Jadi angka tertinggi dan skala yang digunakan tidak selalu sama. (Suharsimi Arikunto, 2012 : 277 – 278)

b.      Skala 1 – 10
Apa sebab Ani dan kawan – kawannya berpikiran bahwa angka 10 adalah angka tertinggi untuk nilai ? Hal ini disebabkan karena pada umumnya guru – guru di Indonesia mempunyai kebiasaan menggunakan skala 1-10 untuk laporan prestasi belajar siswadalam rapor. Adakalanya juga digunakan skala 1-100, sehingga memungkinkan bagi guru untuk memberikan penilaian yang lebih halus. Dalam skala 1-10 guru jarang memberikan angka pecahan, misalnya 5,5. Angka 5,5 akan dibulatkan menjadi 6. Dengan demikian maka rentangan angka 5,5 sampai dengan 6,4 (selisih hampir1) akan keluar di rapor dalam satu wajah, yaitu angka 6. (Suharsimi Arikunto, 2012 : 278)

c.       Skala 1 – 100
Memang diseyogiakan bahwa angka itu merupakan bilangan bulat. Dengan menggunakan skala 1- 10 maka bilangan bulat yang ada masih menunjukan penilaian yang agak kasar. Ada sebenarnya hasil prestasi yang berada di antara kedua angka bulat itu. Untuk itulah maka dengan menggunakan skala 1 – 100, memungkinkan melakukan penilaian yang lebih halus karena terdapat 100 bilangan bulat. Nilai 5,5 dan 6,4 dalan skala 1 – 10 yang biasanya dibulatkan mejadi 6, dalam skala 1 – 100 ini boleh dituliskan dengan 55 dan 64.(Suharsimi Arikunto, 2012 :278 – 279)

d.         Skala huruf
Di samping penilaian yang dinyatakan dengan angka, kita mengenal pula penilaian yang dinyatakan dengan huruf. Seperti penilaian yang dilakukan oleh guru taman kanak- kanak dan atau guru-guru di sekolah dasar kelas I dan kelas II, mereka menggunakan nilai huruf A, B, C dan D.
Selain itu ada juga yang menggunakan nilai huruf sampai dengan E dan G (tetapi pada umumnya 5 huruf yaitu A, B, C, D, dan E). Sebenarnya sebutan “skala” diatas ini ada yang mempersoalkan. Jarak antara hruuf A dan B tidak dapat digambarkan sama dengan jarak antara B dan C, atau anatar C dan D. Dalam menggunakan angak dapat dibuktkan dengan garis bilangan bahwa jarak antara 1 dan 2 sama denga jarak antara 2 dan 3. Demikian pula jaran antara 3 dan 4, serta antara 4 dan 5. Akan tetapi justru alasan inilah lalu timbul pikiran untuk menggunakan huruf sebagai alat penilain. Untuk menggambarkan kelemahan dalam menggunakan angka adalah bahwa dengan angka dapat ditafsirkan sebagai nilai perbandingan. Siswa A yang memperoleh dua kali lipat kecakapan siswa B yang memperoleh angka 4 dalam rapor. Demikian pula siswa A tersebut tidaklah mempunya 8/9 kali kecakapan C yang mendapat nilai 9. Jadi sebenarnya menggunakan angka hanya merupakan symbol yang menunjukan urutan tingkatan. Siswa A yang memperoleh angka 8 memiliki prestasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa B yang memperoleh angka 4, tetapi kecakapannya itu lebih rendah jika dibandingkan dengan kecakapan C. jadi, dalam tingkatan prestasi sejarah urutannya adalah C, A, lalu B. Huruf terdapat dalam urutan abjad. Penggunaan huruf dalam penilaian akan terasa lebih tepat digunakan karena tidak ditafsirkan sebagai arti perbandingan. Huruf tidak menunjukan kuantitas, tetapi dapat digunakan sebagai simbol untuk menggambarkan kualitas. (Suharsimi Arikunto, 2012 : 279 – 280)




















DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, 2012, dasar – dasar evaluasi pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara





Tidak ada komentar:

Posting Komentar