BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
belakang
Apa yang terjadi selama ini,
banyak diantara para guru masih mencampuradukkan antara pengertian skor dan
nilai. Skor adalah hasil pekerjaan menskor yang diperoleh dengan menjumlahkan
angka – angka bagi setiap soal tes yang dijawab oleh siswa.sedangkan nilai
adalah angka ubahan dari skor dengan menggunakan acuan tertentu, yakni acuan
normal atau acuan standar.
Pada hakikatnya pemberian skor (scoring) adalah proses
pengubahan jawaban instrumen menjadi angka-angka yang merupakan nilai
kuantitatif dari suatu jawaban terhadap item dalam instrumen. Angka-angka hasil
penilaian selanjutnya diproses menjadi nilai-nilai (grade).
2.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
mengolah skor mentah menjadi nilai huruf ?
2.
Bagaimana
mengolah skor mentah menjadi nilai 1-10 ?
3.
Tujuan
Masalah
1.
Untuk
memahami cara mengolah skor mentah menjadi nilai huruf
2.
Untuk
memahami cara mengolah skor mentah menjadi nilai 1 - 10
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Skor
Skor
adalah hasil pekerjaan menyekor (memberikan angka) yang diperoleh dari
penjumlahan angka-angka dalam setiap butir soal yang di jawab dengan benar oleh
testee, dan memperhitungkan bobot jawaban.
(http://arminaven.blogspot.com/2011/06/pemberian-score-verifikasi-dan-standar.html diakses pada tanggal 10 oktober
2013)
Pengubahan
skor menjadi nilai dapat dilakukan untuk skor tunggal, misalnya sesudah
memperoleh skor ulangan harian atau untuk skor gabungan dari beberapa ulangan
dalam rangka memperoleh nilai akhir untuk rapor. Secara rinci skor dapat
dibedakan atas tiga macam, yaitu skor yang diperoleh (obtained score),
skor sebenarnya (true score), dan skor kesalahan (error score)
yaitu sebagai berikut :
a) Skor yang diperoleh adalah sejumlah
biji yang dimiliki oleh testee sebagai hasil mengerjakan tes.
Kelemahan-kelemahan butir tes, situasi yang tidak mendukung, kecemasan, dan
lain-lain faktor yang dapat berakibat terhadap skor yang diperoleh ini. Apabila
faktor-faktor yang berpengaruh ini muncul, baik sebagian ataupun menyeluruh,
penilai tidak dapat mengira-ngira seberapa cermat skor yang diperoleh siswa ini
mampu mencerminkan pengetahuan dan keterampilan siswa yang sesungguhnya.
b) Skor sebenarnya (true score)
sering kali juga disebut dengan istilah skor univers –skor alam (universe
score), adalah nilai hipotesis yang sangat tergantung dari perbedaan
individu berkenaan dengan pengetahuan yang dimiliki secara tetap.
Perbedaan antara skor yang diperoleh
dengan skor sebenarnya, disebut dengan istilah kesalahan dalam pengukuran atau
kesalahan skor, atau dibalik skor kesalahan.
Hubungan antara ketiga macam skor
tersebut adalah sebagai berikut:
Skor yang diperoleh = skor
sebenarnya + skor kesalahan,
(http://sumberbagi.wordpress.com/2013/02/26/cara-mengolah-skor-atau-nilai-dan-mencari-nilai-akhir/
diakses pada tanggal 10 oktober 2013)
Adapun yang
dimaksud dengan nilai adalah angka (bisa juga huruf), yang merupakan hasil
ubahan dari skor yang sudah dijadikan satu dengan skor-skor lainnya, serta
disesuaikan pengaturannya dengan standar tertentu.
Nilai,
pada dasarnya adalah angka atau huruf yang melambangkan seberapa jauh atau
seberapa besar kemampuan yang telah ditunjukkan oleh testee terhadap materi
atau bahan yang diteskan, sesuai dengan tujuan instruksional khusus yang telah
ditentukan. Nilai, pada dasarnya juga melambangkan penghargaan yang diberikan
oleh tester kepada testee atas jawaban betul yang diberikan oleh testee dalam
tes hasil belajar. Artinya, makin banyak jumlah butir soal yang dapat dijawab
dengan betul, maka penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee akan
semakin tinggi. Sebaliknya, jika jumlah butir item yang dapat dijawab dengan
betul hanya sedikit, maka penghargaan yang diberikan tester kepada testee juga
kecil atau rendah.
Dari
uraian di atas jelaslah bahwa untuk sampai kepada nilai, maka skor-skor hasil
tes yang pada hakikatnya masih merupakan skor-skor mentah itu perlu
diolah lebih dahulu sehingga dapat diubah menjadi skor yang sifatnya baku.
Pengolahan dan pengubahan skor
mentah hasil tes
Ada dua hal penting yang perlu
dipahami terlebih dahulu dalam pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi
nilai, yaitu:
1. Bahwa dalam
pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu ada dua cara yang dapat
ditempuh, yaitu:
a.
Bahwa pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu dilakukan dengan
mengacu atau mendasarkan diri pada kriterium (patokan). Cara pertama ini sering
dikenal dengan istilah criterion referenced evaluation, yang dalam dunia
pendidikan di tanah air kita sering dikenal dengan istilah penilaian ber-acuan
patokan.
Pertama-tama harus dipahami bahwa
penilaian ber-acuan kriterium ini mendasarkan diri pada asumsi, bahwa:
1)
Hal-hal yang harus dipelajari oleh testee adalah mempunyai struktur hierarkis
tertentu, dan bahwa masing-masing taraf harus dikuasai secara baik sebelum
testee tadi maju atau sampai pada taraf selanjutnya.
2)
Evaluator atau tester dapat mengidentifikasi masing-masing taraf itu sampai
tuntas, atau setidak-tidaknya mendekati tuntas, sehingga dapat disusun alat
pengukurnya.
Apabila
dalam penentuan nilai hasil tes hasil belajar itu digunakan acuan kriterium,
maka hal ini mengandung arti bahwa nilai yang akan diberikan kepada testee itu
harus didasarkan pada standar mutlak artinya, pemberian nilai kepada testee itu
dilaksanakan dengan jalan membandingkan antara skor mentah hasil tes yang
dimiliki oleh masing-masing individu testee, dengan skor maksimum ideal yang
mungkin dapat dicapai oleh testee, kalau saja seluruh soal tes dapat dijawab
dengan betul.
Karena itu
maka pada penentuan nilai yang mengacu kepada kriterium atau patokan ini,
tinggi rendahnya atau besar kecilnya nilai yang diberikan kepada masing-masing
individu testee, mutlak ditentukan oleh besar kecil atau tinggi rendahnya skor
yang dapat dicapai oleh masing-masing testee yang bersangkutan. Itulah sebabnya
mengapa penentuan nilai dengan mengacu pada kriterium sering disebut sebagai:
penentuan nilai secara mutlak (absolut), atau penentuan nilai secara
individual.
Disamping
itu, karena penentuan nilai seorang testee dilakukan dengan jalan membandingkan
skor mentah hasil tes dengan skor maksimum idealnya, maka penentuan nilai yang
beracuan pada keriterium ini juga sering dikenal dengan istilah penentuan nilai
secara ideal, atau penentuan nilai secara teoritik, atau penentuan nilai secara
das sollen. Dengan istilah teoritik dimaksudkan di sini, bahwa: secara teoritik
seorang siswa berhak atas nilai 100-misalnya-apabila keseluruhan butir soal tes
dapat dijawab dengan betul oleh siswa tersebut. Dengan demikian maka dalam
penentuan nilai yang beracuan pada kriterium, sebelum tes hasil belajar
dilaksanakan, patokan itu sudah dapat disusun (tanpa menunggu selesainya
pelaksanaan tes).
Selanjutnya
patut diperhatikan, bahwa nilai yang berwujud angka, yang penentuannya
didasarkan pada standar mutlak itu sebenarnya adalah merupakan angka persentase
(%) mengenai tingkat kedalaman atau tingkat penguasaan testee terhadap materi
tes yang dihadapkan kepada mereka. Dalam pernyataan tersebut terkandung makna,
bahwa nilai yang penentuannya didasarkan pada standar mutlak itu menunjukkan
berapa persen dari 100% tujuan instruksional khusus yang telah ditentukan,
telah dapat dicapai atau dipahami oleh testee. Jadi, jika seorang siswa
memperoleh nilai 50 maka hal itu merupakan petunjuk bahwa siswa tersebut hanya
mampu memahami sebanyak 50% dari tujuan instruksional khusus yang telah
ditentukan.
Karena
nilai hasil tes yang ditentukan dengan menggunakan standar mutlak atau mengacu
pada kriterium itu sebenarnya merupakan angka-angka presentase, maka tester
akan segera dapat mengetahui, siswa manakah yang tingkat penguasaannya
tergolong tinggi, sedng atau rendah.
Penilaian
beracuan patokan ini sangat cocok diterapkan pada tes-tes formatif, dimana
tester ingin mengetahui sudah sampai sejauh manakah peserta didiknya “telah
terbentuk”, setelah mereka mengikuti program pengajaran dalam jangka waktu
tertentu. Dengan menggunakan criterion referenced evaluation di mana guru atau
dosen dapat mengetahui berapa orang siswa atau mahasiswa yang tingkat
penguasaannya tinggi, cukup dan rendah, maka guru atau dosen tersebut akan
dapat melakukan upaya-upaya atau ikhtiar yang dipandang perlu agar tujuan
pengajaran dapat tercapai secara optimal.
(http://sumberbagi.wordpress.com/2013/02/26/cara-mengolah-skor-atau-nilai-dan-mencari-nilai-akhir/
diases pada tanggal 10 oktober 2013)
b.
Bahwa pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu dilakukan
dengan mengacu atau mendasarkan diri pada norma atau kelompok. Cara kedua ini
sering dikenal dengan istilah norm referenced avaluation, yang dalam dunia
pendidikan di tanah air kita sering dikenal dengan istilah penilaian ber-acuan
norma.
Penilaian beracuan kelompok ini
mendasarkan diri pada asumsi sebagai berikut:
1)
Bahwa pada setiap populasi peserta didik yang sifatnya heterogen , akan selalu
didapati kelompok “baik”, kelompok “sedang”, dan kelompok “kurang”.
2)
Bahwa tujuan evaluasi hasil belajar adalah untuk menentukan posisi relatif dari
para peserta tes dalam hal yang sedang dievaluasi itu, yaitu apakah seorang
peserta tes posisi relatifnya berada di “atas”, di “tengah” ataukah di “bawah”.
Penilaian beracuan norma atau
penilaian beracuan kelompok ini sering dikenal dengan istilah penentuan nilai
secara relatif, atau penilaian dengan mendasarkan diri pada standar relatif.
Dengan
menggunakan standar relatif maka akan dapat terjadi, bahwa testee yang
sebenarnya pada kelompok I tergolong “hebat” (karena berhasil meraih skor hasil
tes yang tinggi sehingga ia tergolong dalam kategori testee yang “amat
pandai”), jika dimasukkan ke dalam kelompok II ternyata hanya termasuk dalam
kelompok “sedang” atau “cukupan” atau “biasa-biasa saja” kualitasnya, jadi
kedudukan testee dimaksud di atas sebenarnya adalah bersifat relative.
(http://sumberbagi.wordpress.com/2013/02/26/cara-mengolah-skor-atau-nilai-dan-mencari-nilai-akhir/. diakses pada tanggal 10 oktober
2013)
2. Bahwa
pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai itu dapat menggunakan
berbagai macam skala.
1)
Pengubahan skor mentah hasil tes menjadi nilai standar berskala lima (stanfive)
Pengubahan skor mentah hasil tes menjadi
nilai standar berskala lima atau nilai huruf, menggunakan patokan sebagai
berikut:
———————–>
A
Mean + 1,5 SD
———————–>
B
Mean + 0,5 SD
———————–>
C
Mean – 0,5 SD
———————–>
D
Mean – 1,5 SD
———————–>
E
2)
Mengubah skor mentah hasil tes menjadi nilai standar berskala sembilan
(stannine)
Jika skor-skor mentah hasil tes itu
akan diubah menjadi nilai standar berskala sembilan, maka patokan yang
dipergunakan adalah sebagai berikut:
———————–>
9
M + 1,75 SD
———————–>
8
M + 1,25 SD
———————–>
7
M + 0,75 SD
———————–>
6
M + 0,25 SD
———————–>
5
M – 0,25 SD
———————–>
4
M – 0,75 SD
———————–>
3
M – 1,25 SD
———————–>
2
M – 1,75
SD
———————–>
1
Nilai standar berskala sembilan
adalah nilai standar yang meniadakan nilai 0 dan nilai 10. Nilai standar
tersebut tidak lazim digunakan di Indonesia.
3)
Pengubahan skor mentah hasil tes menjadi nilai standar berskala sebelas
(standar eleven)
Nilai standar berskala sebelas
adalah rentangan nilai standar mulai dari 0 sampai dengan 10. Jadi di sini akan
kita dapati 11 butir nilai standar, yaitu nilao 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9,10.
Di Indonesia, nilai standar berskala
sebelas ini umumnya digunakan pada lembaga pendidikan tingkat dasar dan tingkat
menengah. Pengubahan skor mentah menjadi stanel itu menggunakan patokan sebagai
berikut:
———————–>
10
M + 2,25 SD
———————–>
9
M + 1,75 SD
———————–>
8
M + 1,25 SD
———————–>
7
M + 0,75 SD
———————–>
6
M + 0,25 SD
———————–>
5
M – 0,25 SD
———————–>
4
M – 0,75 SD
———————–>
3
M – 1,25 SD
———————–>
2
M – 1,75 SD
———————–>
1
M – 2,25 SD
0
(http://sumberbagi.wordpress.com/2013/02/26/cara-mengolah-skor-atau-nilai-dan-mencari-nilai-akhir/
diakses pada tanggal 10 oktober 2013)
B.
Beberapa
Skala Penilaian
a.
Skala
bebas
Ani, seorang pelajar di suatu SMU, pada suatu hari
berlari – lari kegirangan setelah menerima kembali kertas ulangan dari Guru
Matematika. Pada sudut kertas itu tertulis angka 10, yaitu angkayang diperoleh
Ani dengan ulangan itu. Setekah tiba diluar kelas, Ani berdiskusi dengan kawan
– kawannya. Ternyata cara mengerjakan dan pendapatnya tidak sama dengan yang
lain. Tetapi mereka juga tidak yakin mana yang betul. Oleh karena itu, ketika
kertas ulangan dikembalikan dan ia mendapat 10, ia kegirangan. Baru sampai
bertemu dengan 4 kawannya, wajahnya sudah menjadi malu tersipu – sipu.
Rupanya ia menyadari kebodohannya karena setelah melihat angka yang diperoleh
keempat orang kawannya, ternyata kepunyaan Anil ah yang paling sedikit. Ada
kawannya yang mendapat 15, 20 bahkan ada yang 25.Dan kata Guru, pekerjaan Tika
yang mendapat angka 25 itulah yang betul.
Dari gambaran ini tampak bahwa dalam pikiran Ani,
terpancang satu pengertian bahwa angka 10 adalah angka tertinggi yang mungkin
dicapai, ini memang lazim. Cara pemberian angka seperti ini tidak salah. Hanya
sayangnya, guru tersebut barangkali perlu menerangkan kepada para siswanya,
cara mana yang digunakan untuk memberikan angka atau skor. Ia baru pindah dari
sekolah lain. Ia sudah terbiasa menggunakan skala bebas, yaitu skala yang tidak
tetap. Adakalanya skor tertinggi 20, lain kali lagi 50. Ini semua tergantung
dari banyak dan bentuk soal. Jadi angka tertinggi dan skala yang digunakan
tidak selalu sama. (Suharsimi Arikunto, 2012 : 277 – 278)
b. Skala 1 – 10
Apa sebab Ani dan kawan – kawannya berpikiran bahwa
angka 10 adalah angka tertinggi untuk nilai ? Hal ini disebabkan karena pada
umumnya guru – guru di Indonesia mempunyai kebiasaan menggunakan skala 1-10
untuk laporan prestasi belajar siswadalam rapor. Adakalanya juga digunakan
skala 1-100, sehingga memungkinkan bagi guru untuk memberikan penilaian yang
lebih halus. Dalam skala 1-10 guru jarang memberikan angka pecahan, misalnya
5,5. Angka 5,5 akan dibulatkan menjadi 6. Dengan demikian maka rentangan angka
5,5 sampai dengan 6,4 (selisih hampir1) akan keluar di rapor dalam satu wajah,
yaitu angka 6. (Suharsimi Arikunto, 2012 : 278)
c. Skala 1 – 100
Memang diseyogiakan bahwa angka itu merupakan
bilangan bulat. Dengan menggunakan skala 1- 10 maka bilangan bulat yang ada
masih menunjukan penilaian yang agak kasar. Ada sebenarnya hasil prestasi yang
berada di antara kedua angka bulat itu. Untuk itulah maka dengan menggunakan
skala 1 – 100, memungkinkan melakukan penilaian yang lebih halus karena
terdapat 100 bilangan bulat. Nilai 5,5 dan 6,4 dalan skala 1 – 10 yang biasanya
dibulatkan mejadi 6, dalam skala 1 – 100 ini boleh dituliskan dengan 55 dan 64.(Suharsimi
Arikunto, 2012 :278 – 279)
d.
Skala
huruf
Di samping penilaian yang dinyatakan dengan angka,
kita mengenal pula penilaian yang dinyatakan dengan huruf. Seperti penilaian
yang dilakukan oleh guru taman kanak- kanak dan atau guru-guru di sekolah dasar
kelas I dan kelas II, mereka menggunakan nilai huruf A, B, C dan D.
Selain itu ada juga yang menggunakan nilai huruf sampai
dengan E dan G (tetapi pada umumnya 5 huruf yaitu A, B, C, D, dan E).
Sebenarnya sebutan “skala” diatas ini ada yang mempersoalkan. Jarak antara
hruuf A dan B tidak dapat digambarkan sama dengan jarak antara B dan C, atau
anatar C dan D. Dalam menggunakan angak dapat dibuktkan dengan garis bilangan
bahwa jarak antara 1 dan 2 sama denga jarak antara 2 dan 3. Demikian pula jaran
antara 3 dan 4, serta antara 4 dan 5. Akan tetapi justru alasan inilah lalu
timbul pikiran untuk menggunakan huruf sebagai alat penilain. Untuk
menggambarkan kelemahan dalam menggunakan angka adalah bahwa dengan angka dapat
ditafsirkan sebagai nilai perbandingan. Siswa A yang memperoleh dua kali lipat
kecakapan siswa B yang memperoleh angka 4 dalam rapor. Demikian pula siswa A tersebut
tidaklah mempunya 8/9 kali kecakapan C yang mendapat nilai 9. Jadi sebenarnya
menggunakan angka hanya merupakan symbol yang menunjukan urutan tingkatan.
Siswa A yang memperoleh angka 8 memiliki prestasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan siswa B yang memperoleh angka 4, tetapi kecakapannya itu
lebih rendah jika dibandingkan dengan kecakapan C. jadi, dalam tingkatan
prestasi sejarah urutannya adalah C, A, lalu B. Huruf terdapat dalam urutan
abjad. Penggunaan huruf dalam penilaian akan terasa lebih tepat digunakan
karena tidak ditafsirkan sebagai arti perbandingan. Huruf tidak menunjukan
kuantitas, tetapi dapat digunakan sebagai simbol untuk menggambarkan kualitas.
(Suharsimi Arikunto, 2012 : 279 – 280)
DAFTAR
PUSTAKA
Arikunto,
Suharsimi, 2012, dasar – dasar evaluasi
pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara
http://sumberbagi.wordpress.com/2013/02/26/cara-mengolah-skor-atau-nilai-dan-mencari-nilai-akhir/
diakses pada tanggal 10 oktober 2013
http://arminaven.blogspot.com/2011/06/pemberian-score-verifikasi-dan-standar.html diakses pada tanggal 10 oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar